Monday, April 21, 2014

Bahaya

Setelah bertahun-tahun bergaul dengan kebiasaan pikiran dan perbuatanku, aku sadar bahwa bukan hanya aku tak suka mengobrol, tapi aku memang tak tau caranya mengobrol.
Awalnya aku kira aku adalah pendengar yang baik yang akan jadi dewa penolong bagi mereka yang suka bicara, tapi ternyata aku salah!. Aku bukan orang yang lihai menyimpan sikap hati. Kalau memang tak berkenan, aku memang lebih suka beranjak. Aku memang pendengar yang baik, untuk sahabat-sahabat dan keluarga, dan untuk kalimat-kalimat sakral (benarkah begitu?, atau ini cuma pendapat pribadi?, tentu saja, karena aku tak perlu pendapat resmi!)

Akupun ternyata bukan orang yang ramah dan gemar bersedekah senyum. Lalu siapa yang dilihat oleh orang-orang dalam tujuh tahun belakangan ini? Bukankah itu aku, bukankah itu sikapku, bukankah itu benar-benar karakter yang dikenal pada diriku?
Berarti aku sudah membuktikan bahwa karakter bisa dilatih! Bisa dipaksakan!
Nyatanya sekarang tiba-tiba saja aku tidak suka memberi senyum dengan mudah, tidak murah hati untuk menyapa duluan, dan tentunya TIDAK SUKA BERCAKAP-CAKAP, mulai yang basa-basi hingga masalah-masalah serius mengenai negeri tercinta. Aku melakukannya dengan sadar, tanpa ada kewajiban untuk meralatnya.
Serius, bunuh saja aku daripada mengajakku bicara soal pemerintahan, bicara soal hukum, bicara soal kebijakan negara, atau jangan bunuh aku tapi jangan temui aku lagi untuk ngobrol!

Oke, jadi, ternyata skillku dalam hal ngobrol sangat minim! Dan ini bahaya sekali, karena dengan mudahnya aku akan terbawa sebuah arus yang mulai langka yang disebut dengan menjaga ucapan.
Apakah aku akan jadi makhluk langka?
Tentu tidak, kan sudah kubilang bahwa aku tak begitu suka mainstream!

Baiklah, orang-orang sibuk sekali dengan berbagai ilmu untuk mendekati dan mempengaruhi orang lain, mengenali alam, mengenali hewan, mengenali tuhan, sementara aku merasa seumur hidup inisulit sekali mengenali diriku.
Yah, begitulah. Sudah kubilang kan, aku tidak begitu suka mainstream?

Monday, April 14, 2014

Elegi Kejenuhan

Aku sudah mulai tau bahwa segala hal yang selama ini kupakai mulai doesn't fit my body, doesn't fit my soul either.
Entah aku yang berubah (seperti misalnya tumbuh besar, padahal aku bukan remaja), atau dunia yang berubah dan meninggalkanku yang diam?

Sebenarnya aku memang sudah diam selama beberapa bulan. Aku memilih untuk tidak ikut-ikutan beredar seperti how things are going each morning. Ya memang. Aku seperti melihat apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang yang kukenal di sekitarku menjadi hal-hal yang tidak relevan dengan dunia seutuhnya. Mereka terus melakukan hal yang sama meskipun ada beberapa dinamika. Dan itu membuatku bosan! Yang mereka lakukan memang tidak ada hubungannya dengan hari esok yang akan datang padaku, tapi namanya juga bosan.

Aku juga bosan melihat kenyataan bahwa untuk memenuhi rasa lapar, orang pergi ke warung atau pergi memasak di dapur. Ah, kenapa tak ada cara baru? Begitu-begitu terus, dan aku yakin itu sudah terjadi selama berabad-abad atau malah ribuan tahun, karena jaman orangtuaku pun pasti juga begitu.

Lalu aku melihat orang-orang mulai mengejar prestasi alamiah, atau mengejar dunia, dan itu jelas sekali. Aku dulu juga melakukannya (sampai sekarang pastinya), tapi cobalah kalian pikir. Kalian mengejar harta, tapi suatu ketika kalian akan bosan karena harta memang bentuknya begitu-begitu saja, sifatnya juga begitu-begitu saja. Oke, kalian mengejar uang saja karena uang sifatnya lebih lunak, sekarang perlu sekarang berbentuk. Tapi ini juga omong kosong. Aku juga sudah bertahun-tahun menyimpan uang, tapi uang memang tidak bertambah, soalnya kita harus mengalah pada keterpaksaan untuk merelakan uang yang berkorban pergi demi memanggil makanan, memanggil pulsa telepon, memanggil tempat tinggal dan pakaian yang bagus, lalu bagaimana?

Mengapa kita harus mengalah pada uang?
Mengapa kita harus berpura-pura butuh pakaian dengan warna tertentu, bahan tertentu, atau harus punya telepon?
Kenapa aku tidak melihat ada orang yang berbeda dari lainnya dalam hal ini?
Aku ingin tampil beda, tidak mengikuti hal-hal bodoh ini, tapi tetap harus ada yang kuikuti, karena aku tak cukup jenius!

Oke, memang harus ada pembaruan konsepsi soal ini, harus!
Tapi aku tidak yakin bisa merumuskannya...
Ya iya lah, kalau hal semacam ini bisa kuselesaikan, pasti aku tidak sedang berada di sini. Aku pasti berada di belahan bumi yang lain!

Persepsi Waktu

Mungkin waktu memang hanya persepsi.
Aku sudah sering membaca kisah-kisah masa lalu dan kisah masa depan yang menyebut soal relativitas satuan waktu.

Dua hari ini aku hanya tiduran karena badanku memang meminta diperlakukan begitu.
Dan siang ini, waktu seperti berhenti pada jam 1 siang, cukup lama. Waktu terus memanggil-manggil agar aku segera mengambil hasil cetak foto lalu menyerahkannya ke bagian BAK sebelum jam 2 siang. Terus begitu...!
Sampai saatnya aku menyerah dan kukatakan "besok saja", dan akhirnya kudengar lolongan azan Ashar alias waktu sudah merdeka dan mencapai jam 3!.

Aku mencoba-coba beberapa track lagu baru yang belum pernah kudengar sebelumnya, dan masak iya lagu dengan tempo tak teratur begini sudah dipublish? Ketukannya tiba-tiba melambat dan di bagian lain malah seperti dipacu karena kehabisan waktu, apa-apaan ini?

Aku capek sendiri. Kembali ke rutinitas, dan baru aku tau ternyata di lagu-lagu lain yang sudah kukenal juga terjadi hal yang sama. Tiba-tiba ketukannya dipercepat!

Baguslah! Kalau memang ada yang bisa menemukan "celah" soal persepsi waktu ini. Tapi aku pastinya cuma berhalusinasi karena kondisi badanku yang sedang aneh!
Andai benar aku bisa merayapi waktu, aku akan melakukan persiapan sehari untuk kemudian melakukan hal-hal yang tak akan kuceritakan pada orang lain!